"Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia,
tetapi takutlah kepada Allah."
Maret 1950, Sjafruddin dengan keputusan yang berani melakukan pemotongan (sanering) uang Rp 5 ke atas untuk menekan inflasi. Kebijakan yang banyak mendapat sorotan itu dikenal dengan istilah II gunting Sjafruddin".
Lahir di Banten, Jawa Barat, 28 Februari 1911, ia memiliki nama kedl Kuding. Di dalam tubuhnya mengalir darah campuran Banten dan Minang, sekaligus warisan berupa sikap keras untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda.
Kakek buyutnya, Sultan Alam Intan, masih tercatat sebagai keturunan Raja Pagaruyung di Sumatera Barat. Buyut Sjafruddin itu dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Ia kemudian menikah dengan putri bangsawan Banten, dan lahirlah kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad Prawiraatmadja. Itulah ayah Kuding, seorang jaksa yang dibuang Belanda ke Jawa Timur karena
terlalu dekat dengan rakyat.
Sjafruddin kecil suka membaca kisah-kisah petualangan. Nampaknya sifatnya yang suka berpetualang akan mempengaruhi karir politiknya kelak. Sejak kecil ia merniliki cita-cita tinggi, yaitu ingin menjadi orang besar. Itulah sebabnya ia masuk ke Sekolah Tinggi Hukum (FH VI) di Batavia tahun 1939.
Namanya mulai dikenal orang pada saat negeri ini berjuang mempertahankan kemerdekaan. Sebagai menteri keuangan dalam tiga kabinet yang berbeda, gubernur Bank Indonesia, ia jungkir balik membenahi perekonomian Indonesia yang masih berusia muda. Kebijakannya yang penting adalah membuat Oeang Repoeblik Indonesia (ORI), Oktober 1946, untuk menggantikan uang Jepang dan Belanda.
Pada akhir tahun 1948, tentara Belanda menginvasi ibukota RI Yogyakarta dan menawan SoekarnoHatta
dan membuang mereka ke Bangka. Namun sebelum ditangkap, Soekarno-Hatta memberi mandat pada Sjafruddin untuk menjalankan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Sjafruddin menjadi sosok yang berjasa mengamankan kedaulatan RI dan mengemban tugas untuk meneruskan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. PDRI terus berkampanye untuk meneari dukung
an internasional terhadap kemerdekaan RI. Upaya itu menampakkan hasil. Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta.
Berkat Sjafruddin, pemerintahan RI tetap eksis dan rencana Konferensi Meja Bundar pun disusun. Dalam KMB yang diselenggarakan di Belanda, untuk pertama kalinya kedaulatan Republik Indonesia mendapat pengakuan resmi. Tugas belum selesai. Carut-marut ekonomi Indonesia pasca perang, dan laju inflasi yang tak terkendati, jelas membutuhkan penanganan serius. Pada awal dekade 1950-an, Sjafruddin kembali berperan.
Dengan segala risiko ia menggulirkan program pemotongan (sanering). Setelah pemotongan uang hingga nilainya tinggal separuh, ia mengganti berbagai mata uang yang beredar dengan mata uang baru. Konsisten dengan prinsip-prinsip yang diyakini olehnya, ternyata menempatkan ia dalam posisi sulit. Ketidakcocokannya terhadap pemerintahan Bung Kamo yang dinilai mulai otoriter, membuatnya menempuh
jalan alternatif. Sjafruddin, yang merupakan tokoh Masyumi, bersama Natsir dan Burhanuddin Harahap, terlibat dalam pembentukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), bulan Februari 1958, di Sumatera. Bersama kawan-kawan seperjuangan yang berasal dari militer, mereka menyatakan memisahkan diri dari Jakarta yang menganaktirikan daerah. Sjafruddin menilai Bung Karno menyimpang dari konstitusi.
Akibatnya, Sjafruddin sempat "dikarantina" secara politik oleh Soekarno. Baru pada tahun 1998, pemerintah Indonesia menghargai jasa-jasanya dan menganugerahi gelar pahlawan nasional.