"Wahai, ulama! Kalau ada kamu lihat orang berbuat sesuatu amalan berdasarkan kaul imam-imam yang boleh rfitaklidi, meskipun kaul itu marjuh (tak kuat alasannya), jika tidak setuju janganlah kamu cerca mereka, tapi beri petunjuklah dengan halus. Dan jika mereka tidak sudi mengikuti kamu, janganlah dimusuhi. Kalau kamu berniat demikian, samalah kamu dengan orang-orang yang membangun istana, tapi menghancurkan sebuah kota."
Seruan inklusif K.I-1. Hasyim Asy' ari inilah yang memberi warna baru pada interaksi sesama muslim. Sejak pernyataan itu dilontarkan oleh Hasyim, ketegangan seputar fikih antara kelompok modern dan tradisional untuk pertama kali dapat diredam. Isu modernisasi versus tradisional:is d.alam kehidupan beragama Islam memang sudah bergulir sejak dulu Dalam tradisi beragama umat Islam, selain Muhammadiyah, pernberi warna Islam Indonesia adalah NU (Nahdlatul Ulama). Secara tidak tertulis, NU sudah identik dengan kaum tradisionalis. Sedang Muhammadiyah eenderung lebih mampu mewakili komunitas modernis.
Kiai kelahiran Pondok Ngedang, Jombang, 14 Februari 1871 ini menjadi tokoh sentral di balik pembentukan NU. Sikap non-kooperasi terhadap penjajah sudah terlihat saat ia memprotes kebijakan pemerintah kolonial untuk menarik wewenang pengadilan agama serta memberlakukan hukum adat di Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan, pada tahun 1931. Hasyim melihat penarikan wewenang itu tak sekadar soal hukum adat, tapi juga mengikis sedikit demi sedikit kedaulatan kaum muslim. Syariat yang merupakan nafas kehidupan muslim banyak dituangkan lewat pengadilan agama.
Bagi Hasyim, perJawanan terhadap penjajah Belanda akan lebih efektif kalau umat Islam bersatu. Apalagi sejak tahun 1920-an pengaruh para pemimpin organisasi Islam menjadi tidak terlalu dorninan. Rakyat lebih tertarik dengan ideologi nasionalisme. Gagasan konsolidasi umat Islam ini memang didukung kaum modernis, namun menurut mereka justru kalangan Islam tradisional seperti NU-lah yang sebenarnya bisa menjamin sinergi Islam dalam pergerakan bangsa seeara total. Maka, pad a tahun 1922 organisasi-organisasi Islam bersatu dalam sebuah konfederasi Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI). Selain memberikan Hasyim Asy' ari gelar "Hadratus Syekh", pertemuan MIAI juga menyerahkan tampuk pimpinan kepada Kiai Wahid Hasyim, putra Hasyim Asy' ari. NU pun secara resmi masuk dalam kaneah politik praktis.
Prinsip keras Hasyim kembali ditunjukkannya pada masa pendudukan Jepang. Dengan tegas Hasyim melarang upacara penghormatan kaisar Jepang secara berlebihan, dengan cara membungkukkan badan. Menurutnya penghormatan seperti itu perbuatan syirik. Ia pun ditahan. Tetapi akhirnya dilepaskan karena penahanan itu mengundang reaksi kaum santri. Jepang pun sadar bahwa Hasyim berpengaruh besar di tengah masyarakat. Akhirnya Jepang meminta maaf kepada umat Islam, khususnya ND.
NU pun akhirnya bersikap lebih kooperatif, dengan mem"bubarkan MIAI dan membentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang lebih lunak. NU juga mengizinkan pembentukan Hizbullah dan Sabilillah, laskar pertahanan rakyat sendiri. Bahkan pada tahun 1944, Jepang, mengangkat Hasyim menjadi ketua Shumubu atau Kantor Urusan Agama Islam bentukan Jepang.
Meski sudah "berjanji" akan membantu kepentingan Jepang, Hasyim menghimbau agar wasp ada terhadap politik Jepanog. "Kedua bangs a itu bangsa kafir. Umat Islam dilarang mempercayai umat kafir," kata Hasyim di depan para ulama dari seluruh Jawa.
Hasyim Asy' ari adalah sosok ulama yang secara tegas men en tang penjajah. Prinsipnya jelas, yaitu ajaran agama Islam. Sikapnya yang moderat menjadi inspirasi bagi tumbuhnya kultur inklusif yang hingga kini masih tampak di kalangan nahdliyin.