"Sungguh, seandainya saja aku ini seorang Nederlander, tidaklah aku akan merayakan peringatan kemerdekaan di negeri yang masih terjajah. Lebih dahulu memberi kemerdekaan kepada rakyat atau bangsa yang masih aku kuasai, barulah boleh orang memperingati kemerdekaan sendiri."
Tidak ada nada sarkastik dalam kalimat bernada protes yang didengungkan oleh Ki Hadjar Dewantara itu. Tapi, mestinya orang yang punya kepekaan hati pasti akan tergugah juga. Waktu itu tahun 1913, Belanda berencana mengadakan perayaan seratus tahun kemerdekaannya dari jajahan Perancis; dan perayaan itu akan dilakukan di Indonesia dengan menarik uang dari rakyat. Rencana itu benar-benar menampar harga diri masyarakat Indonesia. Protes Ki Hadjar pun tertuang lewat tulisannya yang terkenal Ais Ik Een Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een Voor Allen maar Ook Allen vaar Een (Satu Untuk Semua, tapi Semua Untuk Satu Juga).
Ki Hadjar lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889 dengan nama RM Soewardi Soerjaningrat. Sesuai tradisi orang Jawa saat itu, ketika genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Cakra, ia berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Meski berasal dari keluarga kerajaan, Ki Hadjar sudah "sungkan" untuk menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Ia ingin lebih bebas dekat dengan rakyat.
Padahal lingkungannya, Keraton Pakualaman amat feodalistis. Ayahnya, Kanjeng Pangeran Ario III Suryaningrat adalah seorang ningrat utama di Paku Alaman, Yogyakarta. Meskipun keturunan bangsawan, pendidikan Ki Hadjar tidak terlalu lancar. Selepas dari ELS (SD untuk anak-anak keturunan Eropa), ia sempat masuk ke Sekolah Guru tapi tak selesai. Ki Hadjar lalu pindah ke STOVIA pada tahun 1905, tapi lima tahun kemudian beasiswanya dicabut karena ia gagal menyelesaikan ujian kenaikan tingkat. Orang tuanya tidak mampu lagi membiayainya.
Pangeran muda ini lalu aktif menulis di berbagai surat kabar, sambil bekerja di Apotek Rathkamp Yogyakarta. Media perjuangannya mulai ia gagas lewat berbagai tulisan. Rumusan sikap patriotiknya tersebar di berbagai media massa ternama waktu itu, misalnya Sedya Tarna, Midden Java, Oetaesan Hindia, Kaaem Maeda, De Express, Tjahaya Timaer, dan Paesara.
Pada 1908, dalam usia 19 tahun, Ki Hadjar sudah aktif dalam perjuangan pergerakan nasional. Ia aktif di Boedi Oetomo dalam divisi propaganda. Pada 1911, ia menjadi anggota redaksi harian de Express, Bandung, yang dipimpin Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Tanggal 6 September 1912, "Tiga Serangkai" ini mendirikan Indische Partij. Usia Ki Hajar waktu itu baru 23 tahun. Inilah partai politik pertama yang secara radikal menyerukan kemerdekaan Indonesia dad Belanda.
"Tiga Serangkai" (Soewardi-Douwes DekkerTjipto) kemudian ditangkap oleh pemerintah kolonial Mereka dibuang ke Belanda selama enam tahun (1913-1919) karena aktivitas politiknya dianggap membahayakan. Pada 1918, mereka mendirikan kantor berita Indanesische Persbureau.
Ia juga mendalami ilmu pendidikan dan meraih akta guru Eropa. Ia membelokkan arah perjuangannya ke bidang pendidikan. Setelah cukup menimba ilmu sebagai guru di Adhi Dharma yang didirikan oleh kakaknya, RM Soerjopranoto, selanjutnya saat berusia 33 tahun, ia mendirikan sekolahnya sendiri pada 3 J uli 1922. Perguruan yang dirintisnya masih ada sampai sekarang, Ondenvijs Instituut Taman siswa atau Perguruan Nasional Taman Siswa.
Ki Hadjar juga berperan aktif dalam bidang pemerintahan. Pada era pendudukan Jepang, Ki Hadjar menjadi anggota "Empat Serangkai" bersama Soekarno, Muhammad Hatta, dan M. Mansjur. Mereka dipilih Jepang untuk ikut serta dalam Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Di masa proklamasi kemerdekaan, ia turut andil dalam KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan menjadi menteri pengajaran pada kabinet RI yang pertama. Sebagai peletak dasar pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Panitia Penyelidik Pengajaran pada tahun 1946.
Konsep pendidikan ala Ki Hadjar digali dari nilai-nilai kultural religius yang berkernbang di Indonesia, seperti kemerdekaan, kebangsaan, kebudayaan, kemandirian, kernanusiaan, kekeluargaan, keseirnbangan, dan budipekerti. Dari sini rnuncul beberapa konsep yang masih menjadi bahan perdebatan.
Misalnya, konsep pendidikan dengan Teori Tri Pusatnya, konsepnya tentang kebudayaan dengart Teori
Puncak-Puncak Budayanya, dan sebagainya. Ismenya yang paling terkenal adalah tut wuri handajani mengikuti dari belakang sekaligus membimbing, yang dijadikan semboyan pendidikan nasional kita. Nama Ki Hadjar Dewantara sering disejajarkan dengan Rabindranath Tagore, tokoh pendidikan dari India. Kedunya punya visi yang sama dalam perjuangan untuk membuat bangsanya merdeka. Tagore dengan Shanti Niketan dan Ki Hadjar Dewantara dengan Tamansiswa. Tagore juga terkenal dekat dengan rakyat kecil. Ia pernah mengembalikan gelar kebangsaan (Sir) yang dianugerahkan Raja Inggris sebagai protes atas keganasan ten tara Inggris dalam kasus Amritsar Affair.
Pada tahun 1927, Tagore disertai pendampingnya, antara lain Prof. Chatterjee, berkunjung ke Tamansiswa. Kunjungan ini dibalas oleh Ki Hadjar dengan mengirimkan beberapa siswa, yaitu Subroto, Rusli, dan S. Harahap. Pelukis Affandi pun pemah berguru di sini. Tagore mengirim beberapa siswa, yaitu Mrinallini, Amrnu Swaminadan, Shanti Deva Cose, dan Nataraj Vashi untuk belajar kesenian di Tamansiswa. Tagore sangat sering merekomendasikan orang-orang India (dan Colombo), antara lain Prof. Khair dan Prof. Pandia, untuk rnenemui dan bertukar wawasan dengan Ki Hadjar.
Ki Hadjar Dewantara wafat pada 1959. Tokoh yang hari lahirnya dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional ini dianugerahi Bintang Mahaputra oleh pernerintah RI dan gelar doktor honoris causa dalam ilrnu kebudayaan oleh UGM.