Anggota wakil rakyat yang terhormat dari dulu ternyata memang suka berdebat. Pada mas a Orde Lama pun sudah lazim mereka (baca: anggota konstituante) mempertontonkan sidang-sidang yang alot. Saat itu, Indonesia sedang belajar demokrasi dalam sistem parlementer. Tapi, yang terjadi masing-masing orang hanya berupaya supaya kepentingan golongannya bisa menang. Fragmentasi dan perpecahan menjadi ciri gerakan nasionalis sebelum 1942. Maka, sepanjang tahun 1950-1957 kabinet dibentuk berdasarkan koalisi yang rapuh antar beberapa partai. Tidak mengherankan kalau konstituante selalu terbentur pada deadlock.
Adalah Prof. Soekamto Notonagoro yang memberikan jalan tengah untuk "kembali ke UUD 1945". Pernyataan ini dilontarkannya dalam sebuah seminar dan kemudian menjadi memorandum ilmiah Universitas Gadjah Mada (UGM). Soekarno, orang yang paling berkuasa saat itu, memang menutup seminar tanpa berkomentar. Namun pada tangga15 Juli 1959 sejarah mencatat, ia mencetuskan dekrit yang memberlakukan kembali Pancasila dan UUD 1945.
Mestinya laki-laki kelahiran Sragen, Solo, pad a 1905 ini boleh berbangga. Tapi, ahli filsafat hukum yang turut menyusun statuta pend irian UGM itu tidak berpretensi bahwa dekrit Bung Kamo adalah berkat jasanya. Padahal, terlepas dari peranan beberapa tokoh lain khususnya dari Angkatan Darat, gagasan kembali ke UUD 1945 adalah hasil pemikirannya. Banyak pihak mengenang Notonagoro sebagai sosok yang rendah hati dan ilmuwan sejati. Padahal, melalui ilmu yang digelutinya, Notonagoro memang memberi banyak kontribusi terhadap tatanan hukum negeri ini. Pendekatannya yang rnengombinasikan filsafat dan hukum selalu membawa kita kembali kepada substansi, dan melupakan tujuan-tujuan jangka pendek. Notonagoro meninggalkan perdebatan lewat sejumlah karya tulisnya seputar Pancasila dalam kurun 1951-1970.