Bayangkan Anda adalah pria berusia 37 tahun, memiliki istri dan tiga orang anak yang masih dibiayai secara bulanan, baik hidupnya maupun sekolahnya. Di rumah, hanya Anda yang bekerja, sementara istri Anda seorang ibu rumah tangga. Simpanan uang di keluarga kebetulan tidak banyak-banyak amat, hanya sekitar Rp.32 juta. Anda kebetulan juga tidak memiliki produk-produk investasi lain. Ya, ada sih. Bentuknya deposito sekitar Rp.12 juta, di luar yang Rp.32 juta tadi. Anda bekerja di kantor yang sekarang sudah 10 tahun, dengan penghasilan sekitar Rp.4,7 juta per bulan.
Pertanyaannya sederhana:
“Apa yang terjadi kalau Anda meninggal dunia?”
Secara keuangan, sudah jelas, gaji Anda berhenti. Mungkin kantor Anda akan berbaik hati memberikan pesangon, tapi berapa sih pesangonnya? Anggap saja ada pesangon yang jumlahnya enam bulan gaji terakhir. Sekarang, siapa yang akan membiayai hidup orang-orang yang Anda tinggalkan?
“Oh, bisa Pak Safir,” kata Anda, “dari simpanan tadi.”
Keluarga Anda mungkin akan memakai uang pesangon plus mencairkan depositonya. Akan tetapi, sampai kapan uang itu bertahan? Cepat atau lambat pasti habis. Nah, disinilah pentingnya melakukan proteksi sehingga kalau terjadi satu risiko, apapun risiko itu, orang yang Anda tinggalkan tidak perlu lagi “menderita” secara keuangan.
Anggap saja Anda wanita, belum menikah, dan masih tinggal di rumah orang tua. Menariknya, Anda adalah anak satu-satunya yang sudah bekerja. Orang tua Anda sudah pensiun. Adik-adik anda masih sekolah. Anda satu-satunya orang di rumah yang memiliki penghasilan layak dan menanggung beban hidup seluruh keluarga, dari bekerja sebagai karyawan.
Apa yang terjadi kalau tiba-tiba sedang menyeberang jalan di dekat kantor, dan sebuah mobil menabrak Anda dengan cukup kencang dari belakang?
Ada dua kemungkinan. Pertama, Anda meninggal. Otomatis, gaji Anda berhenti.
Kalau gaji Anda berhenti, berhenti juga tanggungan Anda untuk keluarga.
“Sebuah payung dikala hujan ibarat proteksi bila terjadi risiko pada keluarga Anda.”
Kemungkinan kedua, ketika ditabrak , Anda tidak meninggal. Hanya mengalami luka, namun sangat parah. Kemungkinan terburuk, Anda koma, tidak sadarkan diri. Dokter Anda juga tidak tahu sampai kapan Anda tidak sadarkan diri. Akan tetapi, di kantor Anda, jelas Anda sudah akan dirumahkan. Bahkan siap-siap saja kehilangan pekerjaan di bulan kedua. Sementara Anda tidak sadarkan diri, nggak tahu sampai kapan. Kalau Anda tidak bisa kembali bekerja, penghasilan Anda juga berhenti.
Risiko lain, Anda sakit. Ada biaya dokter yang harus dibayar. Belum lagi biaya rumah sakit. Nginep di rumah sakit itu mahal. Per malam bisa ratusan ribu. Belum kalau operasi. Belum obatnya. Bisa puluhan juta!
Mau tahu risiko lain?
Anggap saja Anda seorang janda. Anda mempunyai rumah sendiri, dengan satu anak perempuan yang sudah SMP. Apa yang terjadi kalau rumah Anda terbakar? “Waduh, jangan sampai dong,” begitu mungkin kata Anda. Ya, jangan sampai, memang.
Namun, misalnya rumah Anda terbakar, apa kira-kira kerugian Anda?
Pertama, Anda rugi harta, baik bangunan maupun isinya. Kedua, Anda mungkin belum tentu mempunyai uang cash untuk membangun rumah lagi. Kalau Anda mempunyai uang cash sih nggak apa-apa, tapi kalau nggak punya? Mungkin Anda harus pinjam sana-sini.
Itu rumah. Kalau Anda mempunyai kendaraan sendiri? Seperti mobil atau motor, gimana? Hati-hati! Risiko kendaraan berbeda dengan rumah: jauh lebih tinggi.
Kendaraan ‘kan dibawa kemana-mana. Setiap hari lagi. Sementara rumah tetap di situ.
Paling-paling rumah Anda hanya menunggu datangnya risiko, sementara kendaraan, keluar mencari risikonya sendiri. Hua ha ha …
Oke, cukup becandanya. Kesimpulannya, apa saja risiko yang mungkin bisa terjadi pada kehidupan Anda? Risiko-risiko yang mungkin bisa terjadi pada kehidupan Anda antara lain adalah:
1. Kematian
2. Kecelakaan
3. Sakit
4. Musibah pada rumah
5. Musibah pada kendaraan
6. Pemutusan Hubungan Kerja