Kalau ada orang yang menawarkan kepada kita keterbatasan yang berupa otoritas terhadap kebebasan
kreatif hams kita ten tang. Sebab otoritas hanya milik Tuhan."
Begitulah kata Rendra, penulis sajak, lakon, cerpen, deklamator dan pernbaca sajak, aktor, sutradara,
sekaligus esais. Konon 1/ si burung merak" ini juga jago silat.
Mitsuo Nakamura, profesor di Universitas Chiba, pernah berkomentar tentang Rendra: Dia mengingatkan kita pada konsep Bri-Collage-nya Levi Straus. Seorang pemikir alami sejati, pekerja yang menggali langsung kedalaman pikiran manusia. Tetapi, ia bukan seorang manipulator tak dikenal dengan pengetahuannya yang ceroboh. Rendra adalah seorang perajin peradaban modern. Dan apa yang bisa kita perbuat hanyalah mernandang takjub kepada si kreator sebagaimana hasil kreasinya."
Lamr di Solo, 1935 dengan nama Willibrordus Surendra Broto Rendra, dari pasangan dramawan dan penari keraton. Bakat seninya sudah terkenal sejak remaja. Sebagai murid SO di zaman Jepang, ia belum mengenal teater. Hidupnya berubah setelah menonton Tjan Tjeng Bok yang dihubungkannya dengan dongeng, dan ia menyukainya. Duduk di SMP, Rendra pun naik panggung dengan tiga kapasitas
sekaligus: penulis naskah drama, pemain utama, dan prod user. Sandiwaranya berjudul Bunga Semerah Darah sempat menggegerkan penonton di Solo, tahun 1951, yang menampilkan seorang anak gelandangan sebagai pusat kisah dramanya.
Di SMA pada 1952, Rendra sudah mulai bersajak. Puisi-puisinya dimuat oleh Gelanggang dan Siasat.
Puisinya yang dinilai bercorak baru dalam jagat sastra Indonesia pasca Angkatan 45, a.I. berjudul Balada Atmo Karpo dan Paman Doblang yang dianggap setara dengan balada-balada penyair Spanyol
Federico Garcia Lorca. Naskah dramanya. Orang-orang di Tikungan Jalan (1954), yang ia tulis kala SMA, juga mendapat hadiah dari Departemen P dan K. Kumpulan puisinya Sajak-sajak Duapuluh Lima Perak dan beberapa kumpulan puisi lainnya diperkenalkan ke berbagai bahasa Barat maupun bahasa Timur lain. Puisi-puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda dan bahasa Eropa lain.
Rendra mulai serius berteater ketika kuliah di Fakultas Sastra Inggris UGM, Yogyakarta. Bermula dari
"Studi Group Teater" ia menemukan ada sesuatu yang diekspresikan, atau dirangsang. Kelompok yang juga digeluti oleh Arifin C. Noer, Deddy Sutomo, dan Muchtar Hadi ini melejit lewat Paraguay Tercinta.
Namun Rendra terpaksa menyingkir ketika komunitas sastra diguncang dengan pencekalan Manifes Kebudayaan. Ia diburu dan diancam oleh Lekra. Hampir tiga setengah tahun ia belajar teater di American Academy of Dramatic Art di New York. Lalu belajar sosiologi dengan sponsor dari John D. Rockefeller III Foundation. Kembali ke tanah air tahun 1967, dengan inspirasi dari kawan-kawan senimannya, Redra membentuk Bengkel Teater yang disebutnya "kaum urakan". Karya pertamanya adalah Bipbob dan kemudian Renzbate Rate Rate, yang disebut sebagai teater minikata" yang kontroversial. Selain itu, ia menulis dan mementaskan Mastodon dan Burung Kondor, Perjuangan Suku Naga dan Sekda. Sedang karya sadurannya antara lain Oidipus Sang Raja, Oidipus di Kolonus, Antigone, Pangeran dari Homburg, dan Perampok.
Penampilan teatrikal Rendra ketika membaca puisi sempat menjadi tontonan mengasyikkan, memikat,
dan bisa dijual. Pada 1970-an ia sering diundang membaca puisi di kampus-kampus. Ia tak segan jungkir balik di panggung demi menghayati puisi yang dibacakannya. Penon ton seperti tersihir. Poetry reading menjadi tren baru. Sejak 1970-an Rendra banyak naik pentas di Jakarta, antara lain di Gedung Kesenian, Gelora Senayan dan Taman Ismail Marzuki.
Puisi Rendra terutama sejak Blues untuk Bonnie, disebut sebagai "puisi pamflet", sebab puisi itu berisi
protes atas ketidakadilan dan kesewenangan. Rendra memang memiliki komitmen sosial dalam berkesenian. Ia terkenal dengan keberpihakannya terhadap kaum yang tertindas. Ia vokal membela korban ketidakadilan dan penggusuran. Itulah sebabnya di masa Orde Baru, ia berkali-kali dilarang berpentas. Kalaupun diizinkan, naskah puisi atau teaternya harus disensor terlebih dahulu oleh aparat keamanan.
Sebagai penyair, ia sudah membukukan ratusan puisi dalam 4 Kumpulan Sajak (1961), Balada Orang-orang Tercinta (1957), Blues untuk Bonnie (1971), Sajak-sajak Sepatu Tua (1972), Potret Pem bangunan dalam Puisi (1980), Nyanyian Orang Urakan (1985), dan Orang-Orang Rangkasbitung (1993).