Tidak ada yang meragukan kompetensi dan konsistensi Hans Bague Jassin dalam bidang sastra. Ia sempat dijuluki "Paus Sastra Indonesia" oleh Cayus Siagian. Oleh Prof. A.A. Teeuw, Jassin disebut sebagai "Wali Penjaga Sastra Indonesia".
Konsistensi H.B. Jassin berkali-kali teruji di saat panggung politik Indonesia mengalami ketidakstabilan. Rivalitas politik yang tajam antara komunis dan musuh-musuhnya pada dekade 60-an, sempat menyeretnya ke dalam bahaya. Pada masa itu, ia dikecam oleh kelompok Lekra sebagai anti-Soekarno karena turut membubuhkan nama di Manifes Kebudayaan.
Jassin pun harus kehilangan jabatan. Ia dipecat dari Lembaga Bahasa Departemen P&K dan dari Universitas Indonesia. Jassin mencoba arif dengan melihat karya sastra terlepas dari konteks politik. Ketika roda hidup telah berputar, dan Lekra hancur lebur pasca Cerakan 30 September, justru Jassin menilai novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, tidak mengandung hal-hal yang rnelanggar hukum. Pembreidelan buku itu tidak lebih karena ditulis oleh bekas tokoh Lekra.
Itulah Jassin, sosok yang selama puluhan tahun menghabiskan waktunya demi perkembangan sastra Indonesia. Penghargaan yang pantas kalau ia disebut sebagai kritikus sastra terkemuka sekaligus dokumentator sastra. Lelaki sederhana kelahiran Gorontalo, 31 Juli 1917, ini memang otodidak sejati. Teknik mengarang dan memahami puisi sudah dipelajari sejak rnasih duduk di HIS (SD) Gorontalo (1932). Di HBS Medan (1939) ia sudah menulis kritik sastra dan dimuat di beberapa majalah. Gelar sarjana sastra diraih Jassin di FS UI (1957). Ia sernpat kuliah di Universitas Yale, AS (1959). Gelar doktor honoris causa diraih dari FS UI (1975). Jassin menguasai bahasa Inggris, Belanda, Perancis, dan Jerman.
Ketika rnasih duduk di bangku HIS, Jassin amat terkesan ketika Duisterhof:, kepala sekolahnya, bercerita ten tang Saijah dan Adinda (kisah yang diambil dari buku Multatuli, Max Havelaar). Ceritanya sungguh menggugah perasaan. Pada 1972, Jassin menyelesaikan penerjemahan Max Havelaar. Setahun berikutnya Jassin bertemu Duisterhof kembali, saat Jassin menerirna hadiah Nijhoff untuk karya terjemahannya.
Jassin mulai tampil pada 1940 ketika rnenerima tawaran Sutan Takdir Alisjahbana untuk bekerja di Balai Poestaka, badan penerbitan Belanda. Dari tempat itu karirnya terus bersinar dengan menjadi redaktur di majalah Poedjangga Baroe, Balai Pustaka, Pandji Poestaka, Mimbar Indonesia, Zenith, sampai Horison.
Saat menjadi redaktur inilah ia mencatat secara teliti perkembangan dari para pengirim naskah, sehingga
ia menjadi kritikus sastra yang paling tahu perkembangan setiap sastra Indonesia. Dokumentasi karya sastra pribadinya selama 40 tahun, termasuk 30 ribu dan majalah sastra, tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra HB. Jassin di TIM, Jakarta. Koleksi Jassin adalah yang terlengkap di Indonesia. HB. Jassin piawai dalam membuat kritik. Tapi "tukang kritik" ini tidak sekadar mencela. Kritiknya bersifat edukatif dan apresiatif, serta lebih mementingkan kepekaan dan perasaan daripada teori ilmiah sastra. Karya besarnya sebagai kritikus sastra adalah buku Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai yang ditulisnya pad a tahun 1967. Ia pernah juga menu lis tafsir Alquran dalam buku Qur' an Bacaan Mulia. Armijn Pane-lah yang mengajarinya membuat timbangan buku dengan lebih baik.
Saat mengasuh Sastra, ia sempat ditahan dan diseret ke pengadilan karena memuat cerpen berjudul Langit Makin Mendung karya Ki Pandjikusrnin, tahun 1971. Isinya dianggap menghina Nabi Muhammad.
Di pengadilan, Jassin diminta mengungkapkan identitas asli pengarang, tapi ia menolak. Ia pun dihukum
penjara setahun dengan masa percobaan dua tahun. Jassin akhirnya dibebaskan karena kesaksian Hamka. H.B. Jassin adalah anugerah tiada terhingga bagi dunia sastra Indonesia. Kita belum merniliki sosok sekonsisten dirinya dalam mendokumentasikan karya-karya sastra di Indonesia, serta kritikus searif dirinya dalam menimbang sebuah karya secara arif.