"Menulis itu merupakan kewajiban."
Begitulah prinsip Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, yang menilai eksistensi seorang ilmuwan dari karyakarya yang dihasilkan. Publish or perish, seperti yang banyak diyakini oleh intelektual mancanegara. Karena itu Sartono pernah mengritik rekan-rekan sesama akademisi yang disebutnya sebagai "intelektual pohon pisang" yang hanya sekali berbuah, yaitu di saat dipaksa membuat disertasi sebagai tugas wajib sebelum meraih gelar.
Sejak kecil Sartono sudah terpesona dengan ilmu sejarah. Nilai mata pelajaran sejarahnya selalu sepuluh. Dulu ayahnya pernah secara khusus membawa Sartono ke Candi Prambanan, agar kelak menjadi orang berguna," ujar sang ayah saat itu.
la dikenal sebagai pelopor penulisan sejarah dari sudut pandang rakyat kecil. Jika sebelumnya, sejarah adalah teks milik penguasa (dari zaman kerajaan hingga zaman republik}, maka Sartono membalikkan kebiasaan tersebut. Ia menulis sejarah dari persepsi wong cilik. Justru karena itu, hasil karyanya memiliki banyak keistimewaan.
Sartono merasa risi jika kehidupan, koz:sep hidup dan sejarah Indonesia ditulis oleh para peneliti dan penulis asing, apalagi kalau ditulis dalam konsep Barat. Ia pun menggunakan perspektif lokal dan masyarakat bawah dalam penelitian dan penulisan hasil karyanya. Ia menjadi pelopor dalam pendekatan tersebut. Lahir di Wonogiri, 15 Februari 1921, konon leluhurnya yang berasal dari Solo merupakan pengikut Pangeran Diponegoro. Sejak kedl ia sudah ditinggal wafat ibunya. Ayahnya Tjitrosarojo, pegawai pos di zaman Belanda, kemudian menikah lagi, dan memberinya dua adik.
Sejak kecil Sartono sudah mengidap penyakit selaput jala (retina) mata, yang mengaburkan penglihatannya. Tentu hal itu sangat mengganggu kesenangannya membaca, karena harus dibantu kaca pembesar. Dengan keterbatasannya ia tak menyerah sebagai hidup berarti menjawab tantangan, begitu prinsip hidupnya. Sartono yang pernah menjadi ketua AMKRI (Angkatan Muda Katolik Republik Indonesia) ini adalah lulusan Hollands Inlandsche Kweekschool (HIK), sekolah guru. Dari sinilah ia mulai mengawali kariernya sebagai guru. Berturut-turut menjadi guru SD di Salatiga (1941-1945), guru SMP di Yogyakarta (1946-1950), guru SMA di Jakarta (1950-1956), sampai menjadi dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan IKIP Bandung (1959-1962). Ia juga tercatat sebagai guru besar Fakultas Sastra UGM, pada 1968.
Sederet gelar akademis telah membuktikan kepakarannya dalam bidang sejarah. Gelar M.A. di Universitas Yale, AS dan doktor sejarah yang diraihnya dengan predikat cum laude di Universitas Amsterdam, 1966. Disertasinya, The Peasant Revolt of Banten in 1888, Its Condition, Course and Sequel: A Case Study of Social Movement in Indonesia, menyinggung aspek, gejala dan fenomena Ratu Adil dalam pemberontakan petani di Banten.
Beranjak dari dunia akademisi, Sartono mulai menuangkan ilmunya lewat berbaga,i tulisan. Pada 1981, ketika Institute for Advanced Study in Humanities and Social Sciences di Wassenaar, Den Haag, ia menulis seri Surat dari Wassenaar ke Kompas edisi Minggu. Tulisannya banyak menyinggung sejarah Indonesia yang berkaitan dengan penjajahan Belanda. Berturut-turut karya tulisnya makin beragam. Tulisannya cenderung berciri T oynbeean yang menganalisis proses sejarah dengan konsep challenge and response. Pola pikir seperti ini dikembangkan oleh sejarawan terkenal, Arnold J. Toynbee.
Karya masterpiece-nya yang telah dibukukan antara lain Agrarian Radicalism (ed. Claire Hold), Culture and Politic in Indonesia (Cornell University Press, 1972), dan Protest Movement in Rural Java (Oxford University Press, 1973). Namun yang paling terkenal di negeri ini adalah Ratu Adil (Sinar Harapan, 1984), yang mengulas Gerakan Ratu Adil sebagai gerakan keagamaan yang menantikan datangnya seorang Juru Selamat, Imam Mahdi, atau Mesias; Ratu yang akan membawa kebahagiaan dan kemakmuran seperti pada masa lampau. Gerakan ini banyak muncul di Jawa pada saat tekanan pemerintah kolonial memuncak, seperti: Nyi Acih di Sumedang, Jawa Barat (1870), Jumadilkubra atau Kobra di Jawa Tengah (1871), Jasmani di Kediri, Jawa Timur (1887), Mangkuwijaya (1865), dan di Tangerang (1924). Sekali lagi Sartono mengkritik kalau fenomena lokal seperti itu begitu diabaikan dalam penulisan sejarah Indonesia, sebab selama ini ilmu sejarah memang dikuasai mainstream penulisan dari sudut pandang penguasa, bukan sejarah lokal dari sudut pandang orang kebanyakan.
Meski concern terhadap sejarah dan akar budaya Jawa, ia menolak kalau dianggap tidak nasionalis, "Yang berbahaya adalah Javanosentris, yang menjadikan Jawa sebagai ukuran terbaik dan standar nasional," katanya.