SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA (Sastrawan Pelopor Angkatan Poedjangga Baroe)

0 komentar

"Satu bumi, satu umat manusia, satu nasib, satu masa depan. Sekarang ini, semua kebudayaan dunia adalah
kebudayaan saya."

Sulit berbicara tentang sejarah sastra Indonesia modern tanpa menyebut nama Sutan Takdir Alisjahbana. Ia bukan hanya pendiri Angkatan Poedjangga Baroe. Ia menjadi salah satu peletak dasar peradaban bangsa dengan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa modern. Lewat Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia yang ditulisnya, Takdir adalah guru pelajaran bah as a Indonesia di setiap sekolah. Dalam Komisi Bahasa Indonesia, organisasi buatan Jepang, Takdir berhasil menghimpun 400 ribu istilah dalam bahasa Indonesia.

Lahir di Natal, Tapanuli Selatan, 11 Februari 1908, Takdir mengaku orang campuran. Ayahnya berdarah Jawa, yaitu Raden Alisjahbana gelar Sultan Arbi. Gelar raden itu suatu ketika diakui Kesultanan Yogyakarta. Malah, ia pernah disuruh mengamat- amati aktivitas Sentot Alibasjah (pengikut Pangeran Diponegoro) yang dibuang di Bengkulu. 

Takdir sudah menulis sejak berusia 17 tahun. Ketika masih tinggal di Muaraenim, ia mengarang Surat-surat Tani dalam bahasa Belanda. Sempat berkecimpung di dalam dunia pendidikan, Takdir akhirnya memilih terjun di dunia tulis-menulis. Bermula dari karir sebagai pegawai bagian penerbitan buku Pandji Poestaka, Takdir mulai menulis novel dan roman. Mulai Tak Putus Dirundung Malang (1929), Dian yang Tak Kunjung Padam (1932), Layar Terkembang (1937), Anak Perawan di Sarang Penyamun (1941), Tebaran Mega (1955), Grotta Azzurra (1970), Kalah dan Menang (1980), hingga Perempuan di Persimpangan Zaman.

Ketika Adinegoro, redaktur Pandji Poestaka, pindah ke Medan, posisinya digantikan Takdir. Saat itu ia mulai merintis Gerakan Sastra Baroe (1933) dengan melibatkan para intelektual zaman itu, seperti Armijn Pane dan Amir Hamzah. Sekitar 20 orang intelektual Indonesia menjadi inti gerakan Poedjangga Baroe, di antaranya Prof. Husein Djajaningrat, Maria Ulfah Santoso, Mr. Sumanang, dan Poerwadarminta. Poedjangga Baroe diterbitkan pertama kali oleh percetakan Kolf milik A. Dahleer, seorang berkebangsaan
Belanda.

Perjalanan Takdir dalam dunia sastra menghasilkan suatu kesimpulan yang akan terus menjadi visi perjuangannya. Baginya, sastra yang bertanggung jawab adalah yang bisa menjadi kebangkitan dunia baru. Tidak eksklusif dalam individualisme atau sekadar meneurahkan perasaan yang egois, tanpa kepedulian terhadap krisis yang terjadi dalam masyarakat. Modernitas yang dilandasi rasionalitas adalah kunci pernikiran Takdir. Konsep inilah yang ia pertahankan sejak Polemik Kebudayaan di era 30-an.

"Perdebatan ketika itu adalah mengenai perbedaan antara yang saya namakan kebudayaan progresif (dikuasai nilai ilmu dan nilai ekonomi yang melahirkan teknologi) dan yang say a namakan kebudayaan ekspresif (kebudayaan tradisional yang dikuasai oleh nilai-nilai agama dan seni). Yang pertama berdasarkan kerasionalan pikiran, sedangkan yang kedua berdasarkan intuisi, perasaan, dan imajinasi,"
tulis Takdir di tahun 1986. Bagi Takdir, kebudayaan adalah totalitas ilmu, teknologi, dan agama. Lulusan Reehtshogesehool dan Letterkundige Fakulteit, Jakarta, (1942) ini adalah pendiri Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (YMIK) serta Universitas Nasional- ia sempat lama jadi rektor. Ia tak pernah letih menganjurkan penerjemahan karya-karya asing secara besar-besaran. "Lihat Jepang, mereka sampai menerjemahkan ensiklopedi," katanya.

Takdir sempat melontarkan kekecewaan tentang pendidikan dan perkembangan bahasa Indonesia, karena, "bahasa yang pernah menggetarkan dunia linguistik ini, dengan kesanggupannya mempersatukan 13 ribu pulau, masih terbelakang. Belum menjadi bahasa modern, bahasa dunia, yang di dalamnya ilmu pengetahuan dan teknologi masuk."

Sutan Takdir Alisjahbana wafat tanggal 17 Juli ***** 1995, namun pengaruhnya akan tetap terasa.
Share this article :
 
TEMPLATE ASWAJA| Success = Dream x Work x System - All Rights Reserved