15 Juni 1968, tim penasihat ekonomi presiden Soeharto dilantik. Mereka terdiri dari para ekonom
dari Universitas Indonesia yang terdiri dari Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Subroto, dan Mohammad Sadli. Kelompok yang dipimpin Prof. Dr. Widjojo Nitisastro inilah yang memulihkan ekonomi pasca era Soekarno dan mengoreksi kebijakan yang menolak penanaman modal asing. Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan menganut jargon pasar terbuka alias liberalisasi.
Widjojo lahir 23 September 1927 di Malang dari keluarga patriotis. Ayahnya pensiunan penilik sekolah
dasar yang aktif di Partai Indonesia Raya (Par indra). Beberapa saudaranya bersikap non-kooperatif
terhadap Belanda dan memilih menjadi guru di Taman Siswa. Widjojo muda sempat mengikuti dorongan
patriotisme keluarganya dengan turut serta dalam revolusi kemerdekaan di Surabaya. Ia masih kelas 1 SMT (seringkat SMA), ketika nyaris gugur di daerah Ngaglik dan Gunung Sari, Surabaya. Selepas
perang, ia kuliah di UI dan mengambil gelar doktor (Ph.D) di Universitas Berkeley, California, AS. Ia lulus tahun 1961, dan sejak itulah bintangnya mulai bersinar.
Ia mengawali karirnya di dunia kampus dengan menjadi Perencana pada Badan Perencanaan Negara (1953-1957), Direktur Lembaga Ekonomi Riset UI dan Dekan FEU I (1961-1968), hingga dikukuhkan
menjadi Guru Besar Ekonomi UI. Pada 1967, Widjojo mulai menjadi individu paling berpengaruh dalam
perekonomian Indonesia dengan menjadi Ketua Badan Perancang Pembangunan NasionaljBappenas
(1967-1971), Menko Ekuin merangkap Ketua Bappenas (1973-1983), dan Penasihat Pemerintah (semasa Presiden Soeharto dan B.J. Habibie) di bidang ekonomi.
Widjojo mendapat legalitas penuh untuk menyetir arah kebijakan ekonomi negeri ini. Widjojo termasuk dalam generasi mainstream atau kelompok arus utama yang berafiliasi dengan Bank Dunia. Tidak salah kalau desain ekonomi yang dipilih Widjojo begitu terbuka. Salah satu solusinya menghadapi masalah kelangkaan modal domestik adalah mencari utang luar negeri. Berbagai lobi pun dilakukannya ke negara-negara maju, seperti Jepang dan AS. Akhirnya, pemerintah Orde Baru mendapatkan
dukungan masyarakat internasional dengan terbentuknya IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia), menyusul pertemuan multinasional di Tokyo pada tanggal 17 Desember 1966, hingga pertemuan di Paris.
Meski secara bertahap mampu meredam inflasi, masuknya investor asing mengundang reaksi keras
di kalangan mahasiswa. Peristiwa Malari 1974 meletus, akibat demonstrasi besar-besaran mahasiswa
memprotes dominasi modal Jepang. Beruntung, sejak pertengahan dekade 1970-an terjadi lonjakan harga minyak. Pendanaan pembangunan bisa ditopang oleh hasil ekspor migas.
Walaupun semula dikemas pro-pasar, namun ekonomi Orde Baru terjerumus juga pada etatisme.
Hal itu diperburuk dengan menjamurnya virus KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dan high cost economy. Deregulasi Perbankan 1988 yang dimaksudkan sebagai stimulator terhadap pertumbuhan sektor riil, justru menjadi biang monopoli di berbagai industri. Tak ada political will dari pemerintah untuk menerbitkan Undang-Undang Antimonopoli, sehingga dekade 90-an diwarnai dengan konsentrasi penguasaan usaha pada segelintir orang.
Widjojo dianggap bertanggung jawab dalam menentukan kerangka pembangunan Indonesia selama
era Orde Baru. Namun harus diakui bahwa pesatnya pertumbuhan ekonomi menimbulkan dampak negatif seperti besarnya utang luar negeri, menggejalanya KKN, monopoli, dan ketimpangan.
Widjojo adalah orang Indonesia pertama yang mendapat Elise Walter Haas Award dari Universitas
Berkeley. Ia telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian Indonesia memasuki abad
21.