"Tidak nasionalis kalau hanya melukis perempuan cantik dan pemandangan alam."
Itulah pandangan Soedjojono Sindudarsono terhadap gaya para pelukis mooi indie yang hanya menyajikan keindahan dan ketenangan negeri laksana surga. Idealisme yang dimiliki Soedjojono ini membuatnya tidak bisa sepaham dengan Basoeki Abdullah, sejak tahun 1935.
Kepedulian pada rakyat dan bangsa yang dirumuskan Soedjojono, tidak hanya "diadopsi" oleh kalangan Lekra di era 60-an, tapi juga menjadi warisan seniman di zaman ini. Soedjojono kerap disebut sebagai
pembaharu seni lukis Indonesia. Dialah pendiri Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia), 1938, awal era modernisasi seni rupa Indonesia. Gerakan Seni Rupa Baru, monumen lain dalam khasanah seni rupa kita yang berlangsung pad a dekade 70-an itu, sedikit banyak mewarisi keyakinan yang dilontarkan Soedjojono di era 3D-an. Sebuah medali emas dari pemerintah RI pada tahun 1970 menjadi lambang pengakuan terhadap kreativitas dan kepeloporannya.
Djon (panggilan akrab Soedjojono) lahir di Kisaran, 14 Desember 1917 sebagai anak tunggal jururawat.
Ia bercita-cita menjadi guru. Sempat mengajar di Taman Siswa dan belajar montir, Djon akhirnya
melabuhkan dunianya pad a dunia lukis. Mulai belajar rnelukis pada Mas Pirngadi dan Chioji Yazaki,
Djon rnulai sepenuhnya hidup dari lukisan. Karya yang paling dibanggakannya adalah lukisan pertempuran
Sultan Agung melawan Jan Pieterszoon Coen yang dipajang di Museum DKl Fatahillah, 1973.
Pengisap cangklong ini pernah rnewakili PKI lewat Lekra sebagai anggota parlernen. Pada 1957, ia
hengkang dan memilih "kernbali" kepada Tuhannya.
"Buat saya eksistensi Tuhan itu positif, sedangkan PKl belurn bisa mernberikan jawaban positif atas hal
ini," begitu alasannya. Soedjojono rneninggal tahun 1986 akibat kanker paru-paru. Narnun kepeloporan dan dedikasinya pada seni rupa tetap dikenang.