"Saya mengusulkan kita perkecil saja jumlah kendaraan (partai). Caranya kita parkir saja kendaraan sendiri.
Lantas, kita naik ke dalam kendaraan yang jumlah dua atau tiga buah saja."
Begitulah kata Soeharto seusai Pemilu 1971. Ia menghendaki penyederhanaan 10 partai yang ada. Ia menginginkan partai-partai Islam berkumpul menjadi satu wadah, dan partai-partai nasional berhimpun dalam satu partai. Golkar, kendaraan politlknya, berdiri sendiri. Maka Soeharto pun menempatkan dirinya sebagai penguasa tunggal.
Soeharto dilahirkan 8 Juni 1921 di kampung bernama Kemusuk, Argomulyo, Godean, Yogyakarta. Ayahnya bernama Kertorejo alias Kertosudiro (nama aslinya Wagiyo alias Panjang), seorang ulu-ulu (pembantu lurah yang bertugas mengurus pembagian air dan irigasi). Ibunya, Sukirah adalah istri kedua Kertorejo. Baru berumur 40 hari, orangtuanya berpisah.
Ia diasuh neneknya, Mbah Kromodiryo, sebelum tinggal bersama ibunya yang telah menikah lagi dengan Atmoprawiro. Pada tahun 1929 ayah kandungnya membawa Soeharto pada Ny. Prawirowiharjo, bibinya, supaya bisa bersekolah di Wuryantoro. Setelah empat tahun di sekolah rendah, Soeharto masuk ke sekolah lanjutan (vakschool) pertama di Wonogiri. Ia juga pernah mendalami ilmu kebatinan bersama Kyai Daryatmo, guru dan mubalig terkenal yang juga dikenal mampu mengobati penyakit dan meramal. Soeharto lantas kembali ke Kemusuk untuk menyelesaikan sekolah menengah yang diselenggarakan Muhammadiyah, di Yogyakarta. Di kota inilah Soeharto pertama kali mengetahui gelombang protes menentang penjajahan Belanda, sebab di kelas sering diadakan diskusi politik antara pelajar.
Lulus dari sekolah menengah, karena tak punya biaya untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, Soeharto kembali ke Wuryantoro dan diterima bekerja menjadi pembantu kelerek di suatu bank desa (Volksbank). Ia berhenti bekerja gara-gara merobekkan sarung yang dipinjam dari bibinya, yang dipakai sebagai seragam kerja. Posisi sebagai kelerek memang mengharuskannya memakai pakaian Jawa lengkap. Untuk sementara, ia menganggur.
1 Juni 1940 datang surat panggilan dari Sekolah Militer KNIL di Gombong, Jawa Tengah. Setelah menamatkan latihan dasar ia melanjutkan pendidikan ke Sekolah Kader di Gombong. Ia kemudian ditempatkan di Batalyon XIII di Rampal, dekat Malang, Jawa Timur dengan pangkat kopral. Saat itu Jepang
masuk ke Indonesia, dan Soeharto hampir saja menjadi tawanan perang. la berhasil menyelamatkan diri dan tinggal di rumah Prawirowiharjo. Di sini ia mendapat serangan malaria.
Pada zaman Jepang, Soeharto mendaftarkan diri sebagai sukarelawan Pasukan Kepolisian Jepang, Keibuho. Kemudian ia menjadi anggota Peta dan diberi jabatan Shodancho atau komandan peleton. Setelah proklamasi, Soeharto turut dalam revolusi. la bergabung dalarn ketentaraan dengan pangkat Mayor, kemudian dipromosikan menjadi Letnan Kolonel. Namanya mencuat setelah berhasil memimpin penyerbuan merebut tangsi rniliter Jepang di Kotabaru, Yogyakarta. Puncaknya, 1 Maret 1949, ia mernimpin Serangan Umum merebut Yogyakarta yang saat itu diduduki Belanda pasca Agresi Militer II. Setelah pengakuan kedaulatan, Soeharto menduduki jabatan strategis di Kodam Diponegoro, Jawa Tengah. Saat itulah ia mulai menjalin hubungan dengan beberapa rekan dari kalangan pengusaha, a.l. Liem Sioe Liong dan Bob Hasan. Pada awal dekade 1960-an, prestasinya terukir dengan mengomandani pasukan RI untuk merebut kembali Irian Barat.
Kiprahnya di bidang politik dimulai ketika meletus Gerakan 30 September. Dengan sigap, ia mengambil langkah-Iangkah taktis dan strategis untuk memulihkan keamanan, sekaligus menanarnkan pengaruh. Tanggal 1 Oktober 1965 ia adalah satu-satunya tokoh yang paling cepat membaca pergeseran peta politik pasca gerakan coup yang gagal itu. Soeharto dinilai berperan penting dalam penciptaan situasi genting di Indonesia antara Oktober 1965 hingga Maret 1966. Tanggalll Maret 1965 ia berhasil mendapatkan mandat pemulihan keamanan yang ditandatangani Soekarno, yang dikenal dengan Supersemar.
Berbekal Supersemar, Soeharto membubarkan PKI dan membersihkan kabinet dari unsur kiri, dan memberangus pengikut setia Soekarno baik di kalangan militer maupun pemerintahan. Popularitasnya memuncak, dan ia berhasil memanfaatkan momentum itu untuk kepentingan politiknya. Ia merebut kekuasaan dari Soekarno secara bertahap, dengan memanfaatkan dukungan dari mayoritas parlernen yang telal1 ia kendalikan.
Hubungan yang rnesra antara tentara dan Golkar, terjalin hingga tiga dekade berikutnya, dengan Soeharto sebagai patron dengan kekuasaan mutlak. Ia mendominasi panggung politik Indonesia. Partaipartai, pemilu, DPR, MPR, dan persseakan tidak berfungsi. Resistensi terhadap kepernirnpinannya, ia jawab dengan tegas. Peristiwa Malari 1974 direspons dengan "penertiban" terhadap pers, sambil rnenyingkirkan faksi-faksi di tubuh militer yang dianggapnya tidak begitu loyal. Pernberangusan hak-hak politik para aktivis Petisi 50 merupakan strategi preventif untuk membungkam kaum oposisi. Dekade 1980-an rnerupakan pengukuhan terhadap kekuasaan Soeharto.
Peristiwa Tanjungpriok tahun 1985 dan Lampung 1989 menggarisbawahi sikap tegasnya terhadap potensi oposisi dalarn bentuk apa pun. Soeharto rnengarahkan perhatian banyak orang pada prestasi pembangunan ekonorni pada tahun 1990-an, seolah-olah mengatakan bahwa kekuasaan absolut selama beberapa dekade tidaklah rnenyalahi demokrasi asalkan tetap membuat rakyat sejahtera.
Memang, dimodali utang luar negeri plus rezeki oil booming sejak pertengahan dekade 1970-an, rezim Orde Baru berhasil membawa Indonesia ke tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi yang konsisten. Negeri ini bahkan diproyeksikan muncul sebagai salah satu negara industri baru (newly industrialized country) di Asia Tenggara. Hingga tahun 1997, banyak pihak mengakui prestasi ini, sehingga absolutisme Soeharto masih tetap utuh.
Tahun 1998, legitimasi kekuasaan Soeharto yang telah bertahan selama 32 tahun, runtuh hanya dalam waktu lima bulan. Krisis ekonomi melenyapkan prestasi ekonomi Orde Baru, dan langsung mendongkelnya dari kekuasaan. Pembangunan ekonomi dan infrastruktur serta keberhasilan menjaga persatuan wilayah (walau dengan pendekatan represif), merupakan prestasinya.
Namun di sisi lain, rezim yang dipimpinnya dinilai merupakan satu-satunya rezim "bersimbah darah" dalam sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Rezim ini mengawali kekuasaannya dengan pembunuhan ratusan ribu orang komunis, dan mengakhiri kekuasaanya dengan menghilangkan paksa aktivis-aktivis pro-demokrasi. Sebagai seorang manusia, isi hati Soeharto sulit ditebak. Ia selalu tersenyum, tapi kita tak pernah tahu apa yang ia pikirkan saat ia tersenyum. Ninik L. Karim, seorang psikolog, merangkumnya dengan kalimat yang pas: "Kita tidak pernah melihat wajahnya yang benar-benar marah, tapi keputusan-keputusannya sangat menakutkan."