"Dalam tahap Nasional Demokratis ini, revolusi kita telah menjebol nekolim dan feodalisme untuk dapat menyelenggarakan tata kehidupan nasional yang demokratis. Sekarang kita melangkah ke tahap selanjutnya .... Sosialisme Indonesia."
Begitulah optimisme Soekarno dalam pidato berjudul Berdikari, 11 April 1965. Saat itu ia dalam puncak semangat mengganyang neo-imperialisme, yang membuat garis politiknya lebih dekat ke Peking daripada Washington.
Ia lahir di Surabaya, 1 Juni 1901, dari pasangan Raden Soekemi seorang guru sekolah rakyat dan Ida Ayu Nyoman Rai, seorang keturunan bangsawan Bali. Ia menempuh pendidikan dasar di Tulungagung, Europeesche Lagere School Mojokerto, dan Hoogere Burger School Surabaya. Soekarno meraih gelar insinyur teknik sipil dari Sekolah Teknik Tinggi Bandung (kini ITB).
Sejak muda Soekarno sudah tertarik pada politik, sebuah dunia di mana ia bisa menyalurkan bakatnya berpidato. Debut politik pertama Sukarno adalah ikut mendirikan Algemene Stu die Club di Bandung pada 1926, sebuah klub diskusi yang berubah menjadi gerakan politik radikal. Tiga bulan setelah lulus kuliah, dia menu lis rangkaian artikel berjudul Nasionalisme, Islam, dan Marxisme dalam sebuah terbitan milik perkumpulan Indonesia Moeda yang menarik perhatian kaum terpelajar kala itu. Ia menekankan pentingnya persatuan nasional, satu front bersama kaum nasionalis, Islamis, dan Marxis, dalam perlawanan tanpa kompromi (non-kooperatif) terhadap Belanda.
Pada usia 26 tahun, tepatnya 4 Juli 1927, Soekamo mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia, yang setahun kemudian berubah nama menjadi Partai Nasional Indonesia. Tahun 1928 ia mengilhami Sumpah Pemuda. Karena aktivitas politiknya, Sukarno dan beberapa anggota PNI ditangkap Belanda pada 1929, kemudian diadili. Pengadilan justru menjadi podium bagi Soekarno untuk menyuarakan pandangan politiknya. Ia membacakan pledoi yang monumental, Indonesia Menggugat, pada 1 Desember 1930, yang membuat popularitasnya terus menanjak.
Terhadap Belanda, ia mengambil langkah nonkooperatif, berbeda dengan nasionalis seperti Dr. Soetomo. Namun pada zaman Jepang, ia menempuh strategi kooperatif, berbeda dengan kaum nasionalis yang tidak mau bekerjasama, seperti Sjahrir. Tampak bahwa Soekarno tergiur kampanye anti-imperialisme Barat yang didengung-dengungkan Jepang, sehingga ia mau bekerjasama.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, karir politik Soekarno melejit. Ia memiliki reputasinya sebagai sosok yang peduli terhadap persatuan bangsa (sikap ini konsisten dipegangnya, bahkan ketika ia harus menebusnya dengan lengser dari kekuasaan pada tahun 1967). Karena itu, para pemuda mendesaknya untuk memproklamasikan kemerdekaan, bersama Mohammad Hatta. Ia juga mengagas dasar negara yang kini dikenal sebagai Pancasila.
Komitmen Soekarno terhadap persatuan bangsa mendapat tantangan berat pada tahun 1950-an. Banyak pihak yang tidak puas dan melahirkan berbagai gerakan separatisme. Situasi itu semakin sulit ketika ia sendiri mulai menampakkan perubahan karakter kepemimpinannya. Mundurnya Hatta sebagai Wakil Presiden, membuat pamornya agak meredup. Ia berusaha mengembalikan pamor itu dengan cara-cara yang berbau kediktatoran. Demokrasi Terpimpin dinilai merupakan eufemisme dari absolutisme kekuasaan, yang kemudian dipertegas dengan pengangkatannya sebagai Presiden Seumur Hidup.
Persatuan bangsa yang sublim sebagaimana digagas dalam konsep Nasakom, ternyata rapuh. Tapi Soekarno sepertinya enggan mengakui realitas. Ia menciptakan beberapa bias dengan mengalihkan perhatian publik kepada isu-isu neo-kolonialisme dan neo-imperialisme. Popularitasnya memang sedikit meningkat setelah perebutan kembali Irian Barat, yang didukung sepenuhnya oleh tentara. Namun dalam kampanye berikutnya (Ganjang Malaysia), tentara tidak sepenuhnya mendukung. Kampanye ini akhirnya hanya merupakan slogan.
Pertengahan dekade 1960-an merupakan saat paling sulit baginya, terutama dalam menjaga keseimbangan politik antara tiga kekuatan utama; dirinya sendiri, angkatan darat, dan kaum komunis. Hingga akhimya meletuslah peristiwa G 30 S yang menyebabkan "rumah kartu Nasakom" -nya runtuh.
Desakan untuk membubarkan PKI ditanggapinya secara setengah hati, sehingga popularitasnya meredup. Tampaknya ia lebih prihatin terhadap prospek perang saudara dibandingkan menurunnya popularitas. Sikapnya yang ambigu dan ambivalen itu membuat angkatan darat menjadi "gemas". Pihak AD akhirnya berhasil mendapatkan mandat melalui Supersemar, untuk memulihkan keamanan dan ketertiban pada tahun 1966. Jenderal Soeharto, rival politik Soekamo yang paling berat pada saat itu, memanfaatkan Supersemar untuk mengambil langkah politik membubarkan PKI. Popularitas Jenderal Soeharto meningkat tajam, sementara Presiden Soekarno semakin terpuruk.
Tahun 1967 ia menyerahkan jabatan kepresidenan kepada rivalnya, Soeharto. Sejak awal 1968, Soekamo
berada dalam karantina politik dan tinggal di paviliun Istana Bogor. Ia kemudian dipindahkan ke Batutulis, Bogor. Setelah penderitaan selama dua tahun, 20 Juni 1970 Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya di RSPAD. Jenazahnya dimakamkan di BIitar, Jawa Timur.